Internet dan Politik

Internet dan Politik:

Menyambung Antara Yang Riil dan Virtual [1]

Yesaya Sandang [2]

Pendahuluan

Dewasa ini kemajuan teknologi kian membelit berbagai macam ranah kehidupan umat manusia, dimana salah satunya adalah teknologi informasi. Paling tidak ada beberapa penemuan penting terkait dengan teknologi informasi yang membawa perubahan secara relatif cepat, beberapa diantaranya adalah: telefon, televisi, komputer dan internet. Masing-masing temuan tersebut kini telah memiliki tempat yang nyaris tak tergantikan dalam dinamika kehidupan manusia. Seingat saya harian Jakarta Post bahkan pernah melansir sebuah tulisan yang pada intinya menyatakan bahwa generasi muda dewasa ini tak dapat lagi dipisahkan dari handphone ataupun laptopnya.

Pesatnya perkembangan teknologi informasi tersebut disisi yang lain menantang banyak kalangan untuk melakukan kajian-kajian dari berbagai sudut pandang. Nyaris sebagian besar cabang-cabang ilmu pengetahuan mulai dari ilmu induk semacam filsafat hingga ilmu-ilmu sosial humaniora semacam sosiologi, psikologi, komunikasi, dan politik mencoba melakukan analisisnya masing-masing mengenai dampak dari teknologi tersebut.

Salah satu upaya tersebut dilakukan oleh Merlyna Lim dalam penelitan disertasinya yang kemudian dibukukan dengan judul @rchipelago Online, The Internet and Political Activism in Indonesia. Secara garis besar buku ini hendak mengkaji hubungan antara kehadiran internet dengan aktivitas politik dengan mengambil locus penelitian di Indonesia, khususnya pada era tumbangnya rezim orde baru dan konflik di Maluku pasca rezim orde baru. Tulisan ini akan mencoba mengulas inti dari buku tersebut dengan memberikan beberapa tanggapan terhadapnya.

Internet dan Politik (Empat Hipotesis Dasar)

Semenjak kehadiran internet kian mendapat tempat dalam berbagai aktivitas kehidupan manusia, timbul beragam perdebatan, tanggapan, pro dan kontra seputar kehadirannya. Perdebatan semacam ini sebenarnya dapat dilacak jauh hingga awal abad ke-19. Adalah Ned Ludd yang kala itu (awal abad ke 19) mempelopori penghancuran mesin-mesin di pabrik sepanjang Yorkshire dan Nottinghamshire, Inggris. Ia dan kelompoknya melakukan hal ini dengan alasan bahwa alat-alat baru yang ada akan merusak pekerjaan dan pola kehidupan mereka yang sudah mapan. Akibat dari tindakan ini, mereka akhirnya diadili dan kemudian dihukum gantung. Ikhtiar Ned Ludd dan rekan-rekannya ini menandai bentuk semangat untuk menghadang laju perkembangan teknologi manufaktur tekstil yang dianggap akan mengubah dunia secara radikal, dan bukan hanya di bidang tekstil melainkan juga di bidang industri produksi dalam skala besar. Gerakan ini kemudian menandai kalangan yang mencurigai dan cenderung pesimis dengan kemajuan teknologi. Mereka yang mewakili garis pikiran ini kemudian biasa disebut sebagai Neo-Luddite (Berry, 1990, Graham, 1999)

Sedangkan disisi yang lain adapula mereka yang meyakini dan beranggapan bahwa inovasi teknologi merupakan obat mujarab yang mampu menyembuhkan berbagai persoalan manusia. Mereka adalah teknofilia, sebuah istilah yang pertama kali dilontarkan oleh Neil Postman. Ia mendefinisikan kalangan ini sebagai orang-orang yang memandang teknologi ibarat kekasih yang dipuja-puja tanpa ada cacat dan cela, sebentuk imakulata, sehingga masa depan bersamanya tidak perlu dikhawatirkan (Postman,1993). Gugus gagasan mereka adalah ideologi teknologi., Pendukung teknofilia beranggapan bahwa teknologi ada pada posisi netral dan sepenuhnya hanya melayani tujuan dari penggunanya. Dengan kata lain, sejauh mana bermanfaat atau tidaknya sebuah inovasi teknologi ditentukan oleh penggunanya sendiri. Di sini mereka menyakini bahwa perkembangan teknologi yang lebih baru adalah lebih efisien (Graham, 1999).

Dalam kaitannya dengan internet dan politik, ketegangan dua kubu yang saling beroposisi tersebut terus berlanjut. Ada sebagian kalangan yang berpendapat bahwa kehadiran internet mampu membantu proses perkembangan demokratisasi masyarakat serta membawa harapan-harapan dan utopia baru. Dengan kata lain ada semacam optimisme melalui kehadiran internet. Namun disisi yang lain adapula mereka yang mencurigai bahwa kehadiran internet akan makin mempermudah pengawasan (panoptikon) dalam setiap aspek kehidupan manusia. Mereka cenderung pesismis bahwasannya internet tak lebih daripada suatu trend yang akan terus menerus mengelayuti gaya hidup masyarakat penggunanya. Debat ini menurut Lim mengalami jalan buntu jika kita tidak merujuk langsung pada kondisi empris pada suatu masyarakat tertentu. Dengan kata lain, Lim hendak merujuk pada fakta sosial tertentu dari penggunaan internet dan interkoneksinya dengan dimensi aktivitas politik.

Pada titik ini Lim melakukan penelitiannya berpijak pada empat hipotesis dasar. Pertama, bahwa internet memiliki karekterisik khusus yang mampu menyediakan kesempatan bagi setiap lapisan masyarakat, khsususnya lapisan masyarakat yang jauh dari arena kekuasaan. Internet disini mengambil bagian untuk membantu mengkonstruksi serta mengelola segenap potensialitas wacana menjadi aksi, dan memfasilitasi aktivitas politis dari agen-agen individual menjadi suatu gerakan sosial kolektif. Meminjam istilah dari Ivan Illich, Lim menamai karekteristik ini sebagai conviviality[3]. Kedua, hubungan antara internet dengan media-media sosial lainnya memiliki pengaruh penting sebagai sambungan serta memberi dampak yang lebih luas terhadap informasi yang ada (membuka peluang diskursus) dan kemudian mampu mendaratkannya pada level aksi politik. Disini internet dapat memainkan peranan untuk membuka peluang reformasi politik manakala media-media sosial lainnya terbelenggu dalam cengkraman penguasa. Walau demikian hal ini menuntut perluasan akses dan jangkuan internet, karena jika tidak maka peranan internet amat kecil pengaruhnya. Ketiga, pengejawantahan aktivitas politik yang difalisitasi oleh internet tidak dapat digapai tanpa koalisi sosial yang sepadan yang timbul dari proses pembentukan identitas bersama hingga pada akhirnya akan bermuara pada tujuan yang sama. Disini Lim mengambil inspirasinya dari Castells yang menyatakan bahwa pembentukan identitas kolektif merupakan salah satu sumber penting untuk mendorong aktivitas politik, hal yang pada era ini dapat terbantu melalui jangkuan media teknologi informasi (internet). Keempat, Internet dapat menjadi wahana untuk membentuk meta-narasi (narasi besar)[4] yang dibangun untuk menopang suatu kebenaran tunggal tak ternegosiasikan mengenai posisi sosial dan politik dari suatu kelompok tertentu (Lim, 2005, 3-4).

Pengalaman Indonesia

Hubungan antara internet dan politik yang diteliti oleh Lim berhasil membuktikan keempat hipotesis tersebut melalui pengalaman Indonesia. Pada kasus pertama yang ditelitinya, Lim menunjukan bahwa Internet di era akhir rezim orde baru muncul melalui proses yang muncul dari bawah (masyarakat penggiat TI) dan bukannya datang dari inisiatif pemerintah (bottom up bukan top down). Lebih lanjut ia menunjukan bahwa lewat kehadiran internet, lalu-lintas informasi yang selama itu ada dalam bayang-bayang kontrol penguasa mulai menjadi lebih terbuka dan bebas. Sehingga dari sana dimungkinkan terjadinya percakapan bebas sensor seputar kondisi sosial politik yang tengah terjadi. Disini internet berhasil menghadirkan semacam ruang publik baru dimana diskursus bebas dapat terjadi untuk membangun suatu gerakan politik kelak. Lalu kehadiran teknologi baru ini mulai kian dijamakan oleh berbagai kalangan pengusaha melalui warnet-warnet. Seiring sejalan dengan perkembangan itu, gerakan sosial di masyarakat mendapatkan wahana baru untuk mengolah seluruh wacana serta informasi yang mereka miliki dan dari sana membangun jaringan yang lebih luas. [5]

Pada kasus yang kedua Lim memperlihatkan hasil penelitiannya bahwa Internet juga mampu memfasilitas kelompok tertentu untuk membangun identitas kolektif dan solidaritas kelompok atas nama meta-narasi demi menjawab suatu tujuan aksi bersama. Penggalangan aksi dalam konflik Maluku sebagaimana ditunjukan oleh Lim turut dibangun melalui Internet. Disini Internet justru menjadi wahana untuk membangun suatu kepompong gagasan kelompok tertentu yang bersifat mutlak dan absolut.[6]

Pengalaman Indonesia sebagaimana ditunjukan oleh Lim memberikan suatu pemahaman bahwasannya dalam melihat hubungan antara internet dan politik mesti memperhatikan konteks. Konteks disini berarti bahwa dalam menganalisis hubungan antara keduanya mesti mempertimbangkan latar perkembangan internet ditempat/masyarakat tersebut, kebudayaan latar belakang serta relasi material dan pengalaman hidup masyarakat tersebut. Lim pada akhirnya tiba pada suatu kesimpulan bahwa penelitaan ini berhasil menunjukan karakter asli dari Internet dalam kaitannya dengan politik melalui kasus Indonesia. Karakter tersebut dijelaskannya kedalam empat ciri pokok: 1. bersifat mempertemukan (individu dengan individu, individu dengan kelompok, kelompok dengan kelompok). 2. dapat diakses secara luas dan terbuka. 3. memiliki ketahanan alamiah terhadap kontrol dan sensor. 4. berbiaya rendah (Lim, 2005, 181).

Tanggapan.

Perkembangan teknologi memang akan terus berlangsung. Segenap aspek kehidupan kita kian hari kian “terteknologisasi”. Bahkan urusan sosial politik pun tidak bisa tidak mesti memperhitungkan perkembangan teknologi. Penelitian Lim ini justru membuat saya semakin yakin bahwa kitalah sebagai aktor dan agen-agen politik yang mesti cepat tanggap terhadap setiap teknologi baru yang hadir dan secara arif memberi makna terhadap kehadirannya. Penelitian Lim ini juga menunjukan bahwa teknologi informasi dapat menjadi penunjang dari aktivitas politik yang terjadi dimasyarakat, walau pada akhirnya aktivitas tersebut dapat menjadi konstruktif ataupun destruktif tergantung dari penggunaannya.

Kehadiran internet juga memberikan alternatif baru bagi setiap hubungan yang mempunyai dampak bagi kepentingan masyarakat sebagai keseluruhan. Setiap tindakan yang memungkinkan seseorang ikut ambil bagian dalam urusan kepentingan publik, adalah tindakan politis. Setiap orang siapapun dia, dapat mengambil sikap politik serta bertindak politis. Dengan demikian aktivtitas politik sekarang memiliki media atau medan pertarungan baru yakni melalui internet.

Namun bagi saya pertanyaan yang muncul kemudian adalah (seiring dengan kesimpulan Lim sendiri dalam hal konteks) bagaimana jika dalam perkembangannya, kehadiran teknologi internet sudah sedemikian menjadi satu dengan kehidupan masyarakat tersebut, dan malah mengubah konteks masyarakat tersebut dalam urusan politik. Artinya begini, bagaimana jika aktivitas politik lalu hanya dimaknai sejauh merupakan aktivitas di internet saja. Penelitian yang dilakukan Lim jelas berlatar pada konteks tertentu dalam suatu babakan politis. Ini berarti masih terbuka penjelasan-penjelasan lain seiring dengan konteks yang ada. Singkatnya, bagaimana dengan kondisi Indonesia saat ini di mana internet dan beragam contentnya sudah makin berkembang dan dapat diakses oleh lebih banyak orang. Bolehlah disini dikatakan bahwa penelitian Lim membuka peluang dan memprovokasi untuk penelitian lanjutan.

Disisi yang lain, Lim menurut hemat saya berhasil menemukan titik sambung antara dunia online (virtual) dan offline (riil) dalam aktivitas politik melalui penelitiannya ini. Ia membuktikan bahwa dikotomi itu tidaklah sepenuhnya relevan dalam konteks Indonesia saat tumbangnya rezim orde baru dan konflik Maluku. Namun biar begitu, bagaimanapun juga aktivitas politik yang sesungguhnya berurusan dengan upaya untuk mengubah koordinat situasi dalam artian yang paling dalam, yakni dasar situasi tersebut untuk menghasilkan suatu kebaruan. Aktivitas politik juga mengandung dimensi subjektivitas dan kolektivitas. Artinya aktivitas politik hanya dapat dipahami dan dialami oleh subjek yang mengemban militansi tertentu, dan kemudian subjek tersebut mencapai rantai persamaan untuk memasuki suatu diskurus yang sama dalam berhadap-hadapan dengan musuh mereka (Robet, 2010). Ini berarti bahwa aktivitas politik selalu dimulai dari dan berujung pada kondisi riil didalam masyarakat itu sendiri..Sehingga dengan demikian internet dapat dikatakan sebagai sekuder atau komplementer bagi aktivitas politik. Dengan kata lain, dunia online menjadi perpanjangan dari apa yang sebenarnya sedang dipergumulkan pada dunia offline.[7]

Walau Lim berhasil mendamaikan dikotomi online – offline dan menemukan titik sambung antara yang riil dan virtual dalam penelitiannya, tetap menurut saya penting untuk tetap tidak disamakan begitu saja antara keduanya. Karena pada wilayah online dimungkinkan terjadi penciptaan realitas semu tanpa rujukannya kedalam realitas yang sebenarnya. Bahkan kenikmatan dalam dunia online mampu memutuskan rantai hubungan dengan dunia riil.

Lebih lanjut perlu juga diperhatikan secara lebih mendetail pada penelitian-penelitan lanjutan dikotomi antara politik teknologi dan teknologi politik .Artinya begini, politik teknologi lebih merupakan dinamika politik dalam urusan penguasaan teknologi, sedangkan teknologi politik adalah pemanfaatan perangkat teknologi demi aktivitas politik. Lantas bagaimana keduanya saling terkait? Karena jika kita melihat kembali pada debat antara Neo-Luddite dan Technopilia maka pertarungan yang sesungguhnya ada pada pengembangan teknologi itu sendiri. Siapa yang menguasai inovasi–inovasi teknologi termuktahir akan semakin diperhitungkan dalam kacah politik global dan lokal.[8] Dengan kata lain, ada tuntutan untuk bergeser dari sekedar user/pengguna untuk menjadi innovator dalam rangka menentukan arah perubahan politik itu sendiri. Sedangkan pada dimensi teknologi politik penelitian Lim ini merupakan salah satu pemberi kontribusi penting dalam memahami peranan teknologi dalam aktivitas politik. Masih dapat pula kita tambahkan persoalan peran dan fungsi lainnya, misalnya pemanfaatan teknologi dalam pemilu dan kampanye.[9]

Penutup

Alvin Toffler lebih dari dua dekade yang lalu telah mengingatkan bahwa kita tidak dapat dan tidak boleh mematikan tombol kemajuan teknologi. Ia bahkan menegaskan “Hanya kaum Romantik dungu yang mengoceh tentang kembali ke keadaan alamiah”. Namun pada saat yang sama ia juga sadar bahwa meningkatnya kecepatan dan sebaran kemajuan teknologi serta kaitan antara tatanan teknologi dan tatanan sosial akan menciptakan suatu bentuk baru polusi psikologis, suatu akselerasi langkah kehidupan yang tampaknya tidak dapat dibendung.

Ini berarti ibarat dalam satu tarikan dan hembusan nafas, ketika kemampuan teknologi kita meningkat, akibat dan dampaknya juga ikut meningkat, entah disadari atau tidak. Dan kini dinamika sosial-politik sebagai dinamika yang tertua dalam sejarah kehidupan manusia mesti memperhitungkan kemajuan teknologi yang pastinya akan terus berkembang. Tinggal sekarang kita mau memaknai politik dan teknologi seperti apa dan bagaimana demi tercapainya  kehidupan yang lebih baik bagi seluruh penghuni bumi ini.

— Semoga Bermanfaat —

Pustaka Primer

Lim, Merlyna, @rchipelago Online, The Internet and Political Activism in Indonesia, TSD- University Of Twente, Enschede, the Netherlands, 2005

Pustaka Sekunder

Berry, Wendell, Why I Am Not Going to Buy a Computer, What Are People For?, North Point Press, San Fransisco, 1990.

Graham, Gordon, The Internet:// a Philosophical Inquiry, Routledge, London, 1999.

Postman, Neil, Technopoly: The Surrender of Culture to Technology, Vintage Books, New York, 1993.

Robet, Robertus, Manusia Politik, Subjek Radikal dan Politik Emansipasi di Era Kapitalisme Global Menurut Zlavoj Zizek, Margin Kiri, Serpong, 2010.

Toffler, Alvin, Kejutan Masa Depan, terjemahan Sri Koesdiyatinah SB, Pantja Simpati, Jakarta, 1989.


[1] Disampaikan pada Forum Bedah Buku @rchipelago Online oleh Merlyana Lim yang diadakan Senat Mahasiswa FISKOM UKSW Salatiga, 11 Februari 2011

[2] Staff pengajar Fakultas Teknologi Informasi UKSW-Salatiga.

[3] Inti gagasan ini pada dasarnya merupakan penegasan bahwa pada dasarnya teknologi itu netral sejauh ia dipahami sebagai alat (tools) yang memiliki nilai intrinsik bagi interaksi sosial. Lim bahkan menandaskan bahwa conviviality adalah state of being, dan bukannya state of doing (Lim, 2005, 28). Namun hal ini bukan tanpa praandaian lanjutan, gagasan ini berlaku sebagai penopang suatu bentuk masyarakat yang memiliki kecenderungan serta mengusahakan pemaksimalan kreativitas, energi/semangat, imajinasi dan potensi individu-individunya,  ketimbang memaksimalkan hasil akhir belaka, yang biasanya berujung pada pola produksi industrial (Illich, 1973, Lim 2005, 18).

[4] Istilah Meta-narasi atau biasa juga disebut sebagai Grand Narative (cerita/narasi besar) dicetuskan oleh Lyotard. Ia menggunakan istilah ini untuk menjelaskan suatu bangunan ide atau konsep (bahkan dapat menjadi mitos dan jadi kepercayaan) yang bersifat mutlak, tertutup dan absolute. Ide-ide atau cerita besar mentotalisasi dan mencakup keseluruhan pandangan hidup kedalam satu acuan tunggal. Lihat, Lyotard, Postmodern Condition: A Report on Knowledge, 1984. sebagai pembanding yang lebih relevan dalam wilayah sosial politik dapat juga merujuk pada konsep comprehensive doctrine dari John Rawls, lihat, Rawls, A Theory Of Justice, 1971 dan Political Liberalism, 1993.

[5] Jelasnya lihat, bab 4 Wiring Indonesia dan bab 5 Elite to the Streets.

[6] Jelasnya lihat bab 6 Laskar Jihad Online.

[7] Bandingkan sekarang misalnya dengan kasus aksi menolak pembangunan BCB menjadi Mall di Salatiga, lalu kasus penggalangan solidaritas koin untuk Prita dan dukungan terhadap KPK yang begitu ramai di Facebook.

[8] Menarik disini untuk diteliti lebih lanjut sepak terjang China dan India dalam dunia teknologi dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir. Lalu pertanyaannya bagaimana dengan Indonesia?

[9] Bandingkan misalnya kasus kampanye Obama di Amerika dengan Rizal Mallarangeng di Indonesia. Menarik juga untuk diteliti ide dan kasus seputar penggunaan perangkat2 teknologi dalam pemilihan umum.


About this entry