Encore

Pra-skriptum: Tulisan ini membocorkan cerita-hingga-ke-bagian-akhir.

Setelah mengunggah dua tulisan yang dikaitkan oleh sebuah film, yang boleh dibilang termasuk kategori tumben-tumbenan karena keduanya lahir pada hari yang sama dan hanya berselang tidak lebih daripada lima kali enam puluh menit, Jumat saya kemarin ternyata tidak berakhir begitu saja karena ada pembicaraan berjam-jam dengan seorang kawan hingga pukul dua dini hari. Pembicaraan kami tidak pernah berbentuk menyerupai sebuah novel dengan satu fokus yang menjadi tulang punggung sekaligus jantung cerita meskipun adakalanya fragmentatif, tetapi lebih menyerupai sebuah kumpulan cerpen yang, katakanlah seandainya terdiri atas delapan cerpen, tidak memiliki kaitan satu dengan yang lain kecuali dalam hal irama, yaitu memandang dunia dengan sepasang mata dan sekuntum pikiran yang memiliki kecenderungan untuk terpesona pada hal-hal sepele dan keseharian seperti telor ceplok krispi yang menjadikan sepiring nasi putih atau nasi goreng atau mie instan lebih hidup bahkan loncat kelas, bolpoin yang nyaman digunakan untuk menulis, spidol warna-warni dalam berbagai bentuk dan ukuran, aroma bersih matahari pada pakaian yang kering sempurna dan baru saja diturunkan dari kawat jemuran, sudut kafe dengan penerangan yang tidak terlalu maksi tidak terlalu redup yang terasa hangat dan privat meskipun berada di area publik, raisin oatmeal scone sebagai produk makanan yang mungkin paling biasa dan paling terasa rumahan di Starbucks namun kesahajaannya membuat kami lebih mencintainya daripada espresso brownies atau red velvet cake-nya yang tentu lebih festive dan dancing-queen-esque, dapur yang bersih dan terang dan Lily Collins dengan gayanya yang superkasual di The Mortal Instruments: City of Bones, sehingga apa pun bisa menjadi materi menarik untuk kami bicarakan.

Setelah menulis sejumlah cerpen secara lisan dan bergantian tentang relasi antarmanusia, sekitar satu jam selepas tengah malam muncullah cerpen yang mengandung horor ketika pembicaraan menginjak peristiwa sekitar satu tahun yang lalu dengan tokoh sentral seorang kawan lain yang mengalami musibah dan dirawat di rumah sakit. Di situlah muncul peristiwa yang bukan baru namun tetap menyimpan peluang besar untuk tidak kuasa dihindari bahkan tidak tertanggungkan: ketika mata menolak patuh pada otak untuk berpaling dari hal-hal mengerikan, dari wajah yang dipenuhi darah dan daging yang lebih sial daripada sekadar memar keunguan. Saya pun nyeletuk: seperti seseorang yang tertegun bahkan terpaku kuat-kuat ketika ia melihat hantu yang berkelebat lebih-lebih yang berdiri beku tanpa bunyi di sudut ruangan, ia seolah sepenuhnya kehilangan daya sekaligus kendali atas dirinya sendiri, jangankan untuk segera berlari menjauh, untuk memejamkan mata saja ia tidak sanggup, karena memang demikianlah adanya ketika seseorang menjumpai hal-hal yang tidak dipahaminya, menjumpai alien, sesuatu yang tidak ada di dalam perbendaharaan perpustakaan otaknya dan tidak dapat diproses seketika oleh logikanya, horor yang sebenarnya, karena horor bukanlah tentang sesuatu yang menakutkan, horor adalah tentang sesuatu yang tidak terkatakan, tidak terjelaskan. Pada titik itu saya pun menyebut-nyebut salah satu film legendaris dalam sejarah perkawanan kami, The Ring versi Hollywood, yang sempat membuatnya berseru “Apaan tuh?!”, karena ia memang tidak menonton film originalnya yang produk Jepang, ketika Samara muncul dari sumur lalu berjalan gontai patah-patah mendekati layar hingga menyeberangi dunia televisi ke dunia real mendatangkan becek pada lantai juga kematian pada seseorang yang pada satu minggu sebelumnya menyaksikan film pendek hitam-putih tanpa judul dan menerima panggilan telepon dari penelepon gelap bersuara bocah yang hanya mengujarkan dua kata: “Sevennn… dayyysss….” Dan seperti halnya perjalanan apa pun yang tentu disebut perjalanan karena bergerak dari satu titik ke titik berikutnya ke titik berikutnya entah kelak akan kembali ke titik awal atau pun tidak, beberapa saat setelah pembicaraan berakhir, The Ring membawa saya pada suatu hari ketika saya nonton Star Trek Into Darkness yang pada saat itu memang langsung mencuatkan The Ring di pikiran saya. Hmmm, seolah-olah Ouroborosiah.

Bagi saya, yang paling menarik dari Star Trek Into Darkness bukanlah adegan awal di Nibiru yang bervegetasi merah yang memang menawarkan pemandangan indah lebih-lebih ketika ditabrakkan dengan birunya samudera, bukan pula sosok Khan yang diwujudkan oleh Benedict Cumberbatch yang sukses menjadikannya sebagai salah satu villain paling keren di dalam daftar saya, pun bukan relasi Kirk-Spock-Uhura dan lebih khusus bromance Spock-Kirk yang di dunia maya sempat menjadi salah satu ship terheboh di antara ship-ship lain dengan sebutan Spirk, bahkan ada yang menulis dan membuat saya tersenyum: “I ship Spirk” dan “I will go down with this ship”, yang terakhir langsung mengingatkan saya pada “White Flag” Dido yang pernah meratui MTV ketika MTV masih MTV, melainkan alur ceritanya yang, seperti telah saya sampaikan, langsung mengingatkan saya pada The Ring.

Seperti halnya The Ring yang mengalir lurus dan lancar tanpa membuat penonton bertanya-tanya “Tunggu dulu, mmm, ini sebenarnya sebelum atau sesudah yang tadi?” seperti pada katakanlah Kill Bill Vol. I Quentin Tarantino atau dengan potongan-potongan yang lebih halus dan rapat seperti pada The End of the Affair Neil Jordan, Star Trek Into Darkness juga menghadirkan informasi demi informasi secara bertahap sepanjang film sehingga penonton pun bisa memahami hal-hal yang memotivasi Khan melakukan yang dilakukannya dan tidak sekadar melihatnya sebagai sosok monodimensional. Meskipun demikian, muara merekalah yang menjadikannya tidak biasa dan mendatangkan kejutan yang efeknya tentu saja berbeda dari segala pelintiran atau twist yang bisa saja membuat penonton merasa tertipu, dikerjai, kurang fokus selama nonton, bahkan bodoh, melainkan lebih bernilai bonus semacam encore pada konser musik, yang tentu di keduanya terasa lebih baik karena penonton tidak perlu terlebih dulu berseru selama setidaknya satu menit “We want more! We want more! We want mooore!” Pada The Ring, ketika Rachel berhasil mencapai dasar sumur dan mengeluarkan kerangka Samara, film seolah telah mencapai titik revelasinya untuk kemudian membuka jalan bagi credit title melayar. Hanya saja, yang terjadi tidak demikian, karena pembebasan Samara, seperti dinyatakan oleh Aidan dengan ekspresi ngerinya sekaligus “Rachel, lo kok oon gitu sih?!” dan “Doooh, capek deeeh!”, justru menjadi babak baru bagi teror-teror berikutnya, dan memang benar adanya karena adegan Samara menembus keluar televisi baru-terjadi setelah segala intensitas peristiwa sumur di bawah lantai kayu sebuah pondok, Noah pun terkapar dengan wajah penyok di kursinya. Cerita baru benar-benar berakhir setelah Rachel memahami bahwa kutukan Samara dapat dinetralkan dengan merekam ulang film pendek hitam-putih tadi dan memandu Aidan melakukannya. Star Trek Into Darkness pun tampak segera mengakhiri dirinya ketika USS Vengeance, yang pada awal kemunculannya membuat saya mlongo karena ukurannya yang di atas rata-rata starship lain dan berwarna hitam sehingga memunculkan citra hibrida antara Nazgul dari The Lord of the Rings dan The Shadow dari serial televisi Babylon 5 dan Lucifer dari… Mahkota Tuhan, yang diambil alih Khan sukses dibombardir dan USS Enterprise lolos dari peristiwa semacam malaikat jatuh. Nyatanya, ketika Enterprise sedang mengambang semacam galau, Vengeance-lah yang meluncur ke Bumi dan jatuh di perairan hingga merangsek ke kota dan mendatangkan kiamat mini, sebuah peristiwa yang pada trailer-nya saya pikir terjadi pada Enterprise. Dari situ cerita yang tadinya mencapai tahap adem-ayem menjadi semarak lagi, termasuk adegan pertaruangan emosional Spock dan Khan, dan benar-benar menuju akhir yang sehangat mentari pagi dan… oh so sweet.

~Bramantio